Ada
dongeng si katak dan si monyet. Di suatu pagi yang cerah. Bocil duduk di dahan sambil mengantuk. tak disadari ternyata perutnya berbunyi keroncongan dan terasa lapar. Ia membayangkan betapa enaknya bila makan buah-buahan. akan Tetapi dia kemudian tersentak mengingat kata-kata temannya. Ia dikatakan sebagai si Serakah, tukang tidur, si Rakus, si Tukang Makan, dan sebagainya. Bahkan ia terngiang kata-kata pak tani yang memarahinya. “Awas ya kamu, kalau mencuri lagi! Kubunuh, Kau! Kalau kau ingin makan buah-buahan tanamlah sendiri! Bekerja dan berusahalah dengan baik!” kata bapak petani dengan geram. Bulu kuduknya berdiri ketika ia teringat pernah dipukuli ketika mencuri pisang dan mangga di kebun pak tani.
dan disaat itu Bocil kemudian berpikir bagaimana caranya mendapatkan makanan agar tidak dimarahi orang. “Ah, lebih baik saya mencari sahabat karibku! Mudah-mudahan ia dapat membantuku,” kata soni dalam hati. Ia kemudian turun dari pohon dan berjalan mencari katak sahabat karibnya. Setibanya di pematang sawah, sambil bernyanyi ia memanggil sahabat karibnya tersebut.
“Pungggg… ketipung … pppung! Heee… heee… he…! Katak sahabatku, mengapa engkau sudah lama tak muncul? Ini sahabatmu datang! Saya rindu sekali padamu! Muncullah … muncullah!” Mendengar nyanyian tersebut katak muncul sambil bernyayi “Teot… teot! Teot… tek..blung! Ini aku si Katak datang!” Aku juga rindu padamu. Bagaimana aku muncul, bila kau sendiri tak muncul?” Kedua binatang tersebut kemudian berbincang-bincang untuk melepaskan kerinduannya. Pada kesempatan itu juga si Monyet menyampaikan maksudnya.
“wahai Katak sahabatku, bagaimana kalau kita bekerja sama untuk menanam buah-buahan,” ajak si monyet. “Wahhh, saya setuju sekali. Tetapi buah apa ya yang paling enak dan paling mudah ditanam?” jawab Katak. “akan Lebih baik kita menanam pisang saja! Bibitnya mudah didapat dan cara menanamnyapun mudah, bagaimana?” kata monyet sambil bertanya. “Baiklah, saya akan mencari bibitnya. Biasanya banyak batang pohon pisang yang hanyut di sungai. Mari kita ke tepi sungai!” jawab katak sambil mengajak monyet. Mereka kemudian ke tepi sungai sambil berbincang-bincang dengan akrabnya. Sesampainya di tepi sungai ia bermain-main sambil menunggu bila ada batang pisang yang hanyut. Benar juga! Tak lama kemudian ada sebatang pohon pisang yang hanyut.
“Nah, itu dia!” Teriak katak sambil menunjuk batang pisang yang hanyut. “Mari kita seret ke tepi!” ajak Bocil. “Mari!” jawab katak. Mereka terjun ke sungai dan menyeret batang pisang ke tepi sungai. Sesampainya di tepi, mereka angkat batang pisang itu ke daratan. Mereka kemudian menunggu kalau ada batang pisang yang hanyut lagi tetapi tak kunjung datang. “Menunggu itu membosankan,” kata monyet menggerutu. “Ya, kalau begitu besok kita ke sini lagi! Kita tunggu bila ada batang pisang yang hanyut lagi! Yang ini untukku,” kata katak sambil memegang batang pisang. “Ah, jangan curang! Ini milik kita berdua. Dari pada menunggu sampai besok sebaiknya kita bagi saja batang pohon pisang ini sekarang,” kata monyet.
“Baiklah, kita potong saja batang pohon pisang ini menjadi dua. Kamu bagian bawah sedang saya yang bagian atas” kata katak. “Ah, jangan curang! Yang dapat berbuah kan bagian atas! Saya sangat memerlukan buah itu dari pada kamu. Nanti yang bagian bawah juga dapat berbuah,” kata monyet membujuk katak. “Baiklah, kita kan bersahabat. Seorang sahabat haruslah saling mengerti dan saling menolong. Kita tidak boleh bertengkar hanya karena perkara kecil. Bawalah yang bagian atas! Saya cukup yang bagian bawah saja,” kata katak penuh perhatian. Mereka akhirnya membawa bagian masing-masing ke hutan. Bocil membawa batang pisang bagian atas dan katak bagian bawah untuk ditanam.
Setiap sebulan sekali monyet mengunjungi katak. Mereka saling menanyakan tanamannya. “Bagaimana tanaman pisangmu?” tanya Bocil. “Ha… ha…, lihat saja itu! Subur bukan?! Tanamanku sangat subur. Daunnya begitu lebat.” Jawab katak sambil menunjukkan tanamannya. “Bagaimana dengan tanamanmu?” tanya katak lebih lanjut. “Wah…, tanamanku juga demikian!” jawab Bocil membohongi temannya. Ia bohong karena tanamannya sudah mati. Batang bagian atas tak mungkin hidup bila ditanam. Bulan berikutnya Bocil datang lagi. Ia bertanya kepada katak tentang tanamannya. “Bagaimana tanamanmu?” tanya Bocil.
“Wah, tanaman pisangku sangat subur, dan sekarang sudah berbuah. Bagaimana pula tanamanmu?” jawab katak sambil menanyakan tanaman si Bocil. “Demikian juga tanamanku, sudah berbuah. Bahkan buahnya besar-besar,” jawab Bocil berbohong. Mereka kemudian berbincang-bincang sambil bergurau. Setelah selesai, Bocil kembali ke hutan. Pada kunjungan berikutnya ternyata buah pisangnya sudah masak tetapi katak tidak dapat memetiknya karena tidak dapat memanjat pohon pisang tersebut. Katakpun meminta bantuan kepada Bocil yang sedang berkunjung. “Bocil, tolong petikkan pisangku yang sudah masak itu!” pinta katak kepada Bocil.
“Wahwahhhh..., dengan senang hati, mari kita ke sana!” jawab Bocil sambil mengajak katak. Bocil pun segera memanjat pohon pisang dan sesampainya di atas ia segera memetik dan mencoba memakannya. “Wahhhhh, ranum benar pisangmu!” teriak soni dari atas pohon pisang. “Hai Bocil, jangan kau makan sendiri saja. Cepat petikkan sesisir dulu untukku” teriak katak sambil memohon. “Ya, nanti dulu! Aku belum selesai memakannya. ” sahut soni. Satu, demi satu dimakannya pisang tersebut oleh soni, setiap katak meminta ada saja jawaban si Bocil. Katak tak pernah diberi. Bahkan si Katak hanya dilempari kulitnya oleh Bocil.
“Kamu itu lebih baik makan kulitnya saja, katak! Ini bagianmu, terimalah! kata Bocil. Katakpun berang dilecehkan oleh Bocil. Ia pun berkata dalam hati untuk memberikan pelajaran kepada soni yang serakah tersebut. “Baiklah, oke oke, habiskan saja pisangku. Aku sudah tak berminat lagi. Aku sudah kenyang makan nyamuk. Makanan utamaku kan nyamuk, bukan pisang seperti makananmu.” kata katak dengan kesal. “Ha… ha… ha…, katak-katak…, salahmu sendiri kamu tak dapat memanjat. Kamu hanya dapat meloncat-loncat saja. Coba perhatikan saya! Saya dapat berjalan, meloncat dan memanjat. Makanankupun lebih banyak jenisnya daripada kamu. Kamu lebih baik makan nyamuk saja. Pisang ini sebenarnya untukku bukan untukmu,” kata Bocil dengan congkak.
“Dasar Bocil serakah kamu ya! Sudahlah, janganlah banyak bicara! Cepat habiskan saja pisangku! Sebentar lagi batangnya akan saya tebang,” kata katak dengan marah. Selesai berbicara katakpun mulai menebang batang pohon pisangnya. Bocil segera mempercepat makannya. Tak terasa ia mulai kenyang dan mengantuk. Batang pohon pisang mulai bergoyang dan akan roboh tetapi soni tak dapat menahan kantuknya. Lebih-lebih goyangannya batang pohon pisang dianggapnya sebagai ayunan yang membuat ia tertidur. Akhirnya ia jatuh. Perutnya terkena ujung pohon kayu kering yang runcing dan badannya tertimpa batang pohon pisang. Matilah sang monyet serakah tadi.