Kisah sang Kera si Raja Hutan

Kisah si kera sang raja Hutan. Di suatu hari yang cerah, di  hutan rimbun itu sedang diselimuti adanya berita duka. sebab apa ?, sebab sang pemimpin hutan yaitu Sang Raja hutan sang “Singa” ditembak oleh pemburu, penghuni hutan rimba jadi gelisah. Mereka tidak mempunyai Raja lagi. tidak berapa lama seluruh penghuni hutan rimba berkumpul untuk memilih Raja yang baru dan kuat tentunya. 
Pada pemilihan Pertama yang dicalonkan adalah si Macan Tutul, akan tetapi macan tutul menolak. “Jangan, melihat manusia saja aku sudah lari tunggang langgang,” ujarnya. “Kalau begitu Badak saja, kau kan sangat kuat,” kata binatang lain. “ohhh tidak , penglihatanku kurang baik, aku telah menabrak pohon berkali-kali.” “oooo,,,mungkin Gajah saja yang jadi Raja, badan kau kan besar..”, ujar binatang-binatang lain. “Aku tidak bisa berkelahi dan gerakanku amat lambat,” sahut gajah.

kisah kera

Para binatangpun menjadi bingung, mereka belum juga menemukan raja pengganti. Ketika hendak bubar, tiba-tiba kera berteriak, “Manusia sajalah saja yang menjadi raja, ia kan yang sudah membunuh Singa”. “Tidak mungkin,” jawab tupai. “Coba kalian semua perhatikan aku…, aku mirip dengan manusia bukan ?, maka akulah yang cocok menjadi raja,” ujar kera. Setelah melalui perundingan, penghuni hutan sepakat si Kera menjadi raja yang baru. Setelah diangkat menjadi raja, tingkah laku Kera sama sekali tidak seperti Raja. Kerjanya sih hanya bermalas-malasan sambil menyantap makanan yang lezat dan enak.

Para Penghuni hutan menjadi kesal, terutama si serigala. Serigala jadi berpikir, “bagaimana si kera bisa menyamakan dirinya dengan manusia ya?, badannya saja yang sama, tetapi otaknya tidak”. Serigala mendapat ide. Suatu hari, ia menghadap kera. “Tuanku, saya menemukan makanan yang amat lezar, saya yakin tuanku pasti suka. Saya akan antarkan tuan ke tempat itu,” ujar srigala. Tanpa pikir panjang, kera, si Raja yang baru pergi bersama serigala.

Di tengah-tengah rimbun hutan, teronggok buah-buahan kesukaan kera. Kera yang tamak langsung menyergap buah-buahan itu. Ternyata, si kera langsung terjeblos ke dalam tanah. Makanan yang disergapnya ternyata jebakan yang dibuat manusia. “Tolong…tolong,” teriak kera, sambil berjuang keras agar bisa keluar dari perangkap.

“Hehehe ! tidak pernah kubayangkan, seorang raja hutan bisa berlaku bodoh, terjebak dalam perangkap yang dipasang oleh manusia, Raja seperti si kera mana bisa melindungi rakyatnya,” ujar serigala dan binatang lainnya. dan tidak lama kemudian setelah binatang-binatang meninggalkan kera, seorang pemburu datang ke tempat itu. Melihat ada kera di dalamnya, ia langsung membawa tangkapannya ke rumah.

Dongeng Kera dan si bangau

Dongeng Kera dan si bangau. bangau punya kaki dan leher panjang. Sayapnya kuat dan lebar hingga ia mampu terbang tinggi dan jauh. Makanan kesukaannya adalah kodok. Selain itu ia suka belalang, ulat pohon, dan bekicot. Sang bangau bersahabat dengan sang kera. Sang bangau sering membantu mencari kutu sang kera. Jika pergi jauh, bangau biasanya menerbangkan sang kera. Akan tetapi, sang kera yang licik dan khianat selalu ingin enaknya saja.


sang kera minta tolong sang bangau untuk menangkap ikan di sebuah kolam. Sementara sang bangau bekerja, sang kera makan sampai kenyang. Setelah itu, sang bangau hanya mendapat bagian sedikit, karena sebagian telah disembunyikan terlebih dulu oleh sang kera. Atas perlakuan itu, sang bangau sudah tentu sakit hati. Namun tidak sampai memutuskan hubungan. Mereka tampak rukun-rukun saja. Sampai pada suatu hari sang kera ingin menipu sang bangau sekali lagi. Sang kera ingin pergi ke Pulau Medang yang terkenal buah sawonya. Tetapi bagaimana caranya untuk bisa ke sana karena kera yakin tidak ada satu pun dari temannya yang mau meminjamkan perahu kepadanya. Satu-satunya harapan adalah sang bangau. Ia mencari akal bagaimana agar sang bangau mau menerbangkannya ke Pulau Medang.

Pada saat kelaparan sedang melanda warga bangau, diajaklah sang bangau pergi ke Pulau Medang. Si kera bercerita bahwa di Pulau Medang pasti terdapat kodok yang banyak, karena pulau itu tidak berpenghuni. Tanpa curiga sedikit pun, si bangau tidak menolak tawaran sang kera. Maka, ditentukanlah hari keberangkatan mereka. Keduanya berangkat dengan penuh harapan memperoleh kehidupan yang layak di pulau seberang. “Bangau sahabatku,” kata sang kera. “Sesampai di Medang nanti saya akan membuat perahu dari tanah liat”. “Apakah kera sekarang sudah begitu pandai sehingga bisa membikin perahu?” tanya sang bangau dengan nada tak percaya.

“Sudah lama saya pergi ke negeri orang yang pandai belajar membuat perahu. Sekarang saya baru bisa membuat perahu dari tanah liat”, jawab si kera. “Yang Penting, sang bangau harus membantu saya mengumpulkan tanah liatnya,” lanjut sang kera.

Sesuai kesepakatan, pada suatu hari sang bangau berangkat menerbangkan sang kera menuju Medang pulau harapan. Setelah beberapa saat terbang, tampaklah dari kejauhan Pulau Medang yang menghijau. Di atas punggung sang bangau, sang kera telah membayangkan buah-buah sawo yang harum baunya dan manis rasanya. Sang kera menyuruh sang bangau terbang lebih cepat. Namun, apa daya. Sang bangau kecapaian, tidak mampu terbang lebih cepat lagi. Apalagi sang kera terus-menerus mengajak bercakap-cakap sambil duduk enak di atas punggung sang bangau. Dengan sisa tenaga yang ada, akhirnya mereka sampai ke Pulau Medang. Dengan napas ngos ngosan sang bangau mendarat dengan selamat. Mereka beristirahat sebentar menikmati pemandangan indah di pulau yang sunyi itu.

Sementara itu sang bangau masih kelelahan amat sangat, setelah terbang dengan beban tubuh sang kera yang berat. Sang kera sudah berada di atas pohon sawo dengan wajah berseri. Ia melompat dari pohon sawo yang satu ke pohon sawo yang lain. Mulutnya mengunyah buah-buah sawo yang masak tanpa berhenti. Kodok yang diperkirakan melimpah ruah tidak ada seekor pun. Terpaksa sang bangau hanya berbaring melepaskan lelah. Sesekal, ia menangkap kepiting kecil yang lewat di dekatnya. Namun, karena sang bangau tidak biasa makan kepiting, perutnya terasa agak mual. Sementara itu, sang kera telah tertidur di atas pohon. Perutnya tampak membiru tanda kekenyangan.

Setelah si kera bangun, berkatalah sang bangau, “hai Sang kera, Anda telah kenyang di sini. Makanan berlimpah. Kodok dan belalang yang Anda janjikan tidak ada di sini. Oleh karena itu, saya tidak mungkin tingggal di sini. Saya akan kembali ke kampung halamanku. Dengan buah sawo yang berlimpah di sini, anda bisa hidup tujuh turunan. Oleh karena itu, besok saya akan pulang. Saya akan menceriterakan kepada warga kera tentang hutansawo mu.


“Jangan begitu ah,” kata sang kera. “Mana mungkin saya hidup sendirian di sini.”“Tetapi saya tidak mungkin hidup di daerah tanpa kodok seperti ini,” jawab sang bangau agak jengkel.“Kalau begitu baiklah. Mari terbangkan saya pulang ke kampung bersamamu,” ujar sang kera. “Maaf sang kera, sayapku belum begitu pulih untuk bisa terbang dengan beban tubuhmu. Jangankan terbang dengan sang kera. Terbang sendiri pun belum tentu kuat.”

“Kalau begitu kita tunggu saja sampai Anda pulih kembali kekuatannya.” Sang bangau menjawab, “Mana mungkin aku harus menunggu. Apa yang harus saya makan? Apa saya harus mati kelaparan di sini sementara kamu punya buah sawo yang berlimpah? Saya kira kamu dapat pulang sendiri dengan perahu. Kamu dapat membuat perahu kan.”

Sang kera tertunduk malu. la ingat akan kebohongannya. Sebenarnya ia hanya punya sedikit keahlian membuat perahu. Namun, karena malunya kepada sang bangau, ia berkata, “Kalau begitu bantulah saya mencari tanah liat. Nanti saya yang menempanya.”

Singkat cerita, perahu itu sudah jadi. Mereka mendorong ke tengah lautan, dan berangkatlah mereka berdua. Sang kera naik perahu dengan perasaan takut sekali.

Sesekali, perahu itu diterjang ombak. Wajah sang kera menjadi pucat. Sebaliknya, sang bangau selalu bernyanyi: “Curcur humat, curcur hurnat, bila hancur saya selamat, bila hancur saya selamat.”

Tentu saja sang bangau dapat terbang jika perahu itu hancur diterpa ombak. Kemungkinan untuk hancur memang ada, karena perahu itu hanya dibuat dari tanah liat oleh kera yang tidak ahli.

Sementara itu, mereka telah berlayar jauh ke tengah lautan. Pulau Sumbawa sebagai kampung halamannya telah tampak dari kejauhan. Tiba-tiba badai bertiup dengan kencang. Hujan pun turun dengan lebat. Ombak lautan bergulung-gulung menerpa perahu mereka. Dalam waktu yang singkat, perahu itu pecah berantakan. Sang bangau segera terbang, sedangkan sang kera dengan susah payah mencoba berenang. Namun, tubuhnya yang kecil tidak mampu melawan derasnya arus dan besarnya gelombang lautan yang kian mengganas. Akhirnya, sang kera mati ditelan ombak lautan.

Lautan tenang kembali. Nun di atas langit tampak sang bangau terbang dengan tenang menuju kampung halamannya.

Kisah kera dan burung pipit

Kisah kera dan burung pipit. Ada seekor kera yang tinggal di sebuah pohon di tepi danau. Kera itu ditinggal kawan-kawannya karena egois, menganggap pohon kesukaannya sebagai milik sendiri. Kera lain tak diizinkannya tinggal, bahkan pinggiran danau itu pun dianggap kekayaan pribadi. Seekor itik sebenarnya selalu pergi ke tempat itu. Dia biasa mandi sampai puas, dan mencari makan di situ sampai kenyang. Kera yang mula-mula diam, begitu mendapatai air jadi keruh marah-marah pada si itik.

“Heiiii, … tak tahu malu! Ini kan tempatku!” kata kera membentak itik. “Ngaca dong, rupamu tak elok! Patuk seperti sendok! Mata sipit seperti kutu busuk! Sayap lebar seperti atap nipah! Jari-jari berselaput! Pergi sana itik jelek!” Tentu saja itik malu dan sakit hati. Ia ingin menantang kera berkelahi, tapi dia tahu pasti akan kalah karena badannya kecil. Dia pun pergi sambil menangis.

Kepergian si itik diperhatikan burung pipit yang sedang menyuapi anak-anaknya. “Hai itik, mengapa kau menangis di jalanan? Mungkinkah kau dapat kutolong?”
“Kera besar di tepi danau menghinaku,” jawab itik. “Aku malu.Itulah kenapa aku menangis.”“Ooo begitu. Sudah diamkans aja, dia memang begitu.”“Begini saja. Sekarang jangan menangis lagi. Dan besok, … pergilah ke danau itu seperti biasa, mandilah sepuasmu dan carilah makan yang kau mau,” kata pipit menghibur.“Aku takut! Aku malu dimaki-maki kera itu.”

“Jangan takut ya! Kalau kera itu memakimu balaslah! Sebutkan segala keburukannya!” Induk pipit pun mengajari itik membalas olok-olok kera.“Terima kasih. Kalau begini aku akan mandi lagi ke danau itu seperti nasihatmu.” Dengan perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya sudah terhibur dengan nasihat induk pipit. Hari esoknya, itik itu mandi sepuas-puasnya di danau seperti biasa. Bukan main marahnya kera menemukan air danau jadi keruh lagi. “Hei, berhenti! Apa kau tak punya malu?” jeritnya dari atas dahan. Itik pura-pura tidak mendengar. Dia terus mandi dan mengepak-ngepakkan sayapnya,.. berulang-ulang seperti itu sampai puas.

Kera pun kembali mencaci itik sepuas-puasnya. Kali ini si itik mendengarkan dengan tenang, sambil menunggu kesempatan membalasnya. Setelah kera selesai menjelek-jelekkan, itikmulai ambil bagian.
“Apakah engkau merasa cantik, hai monyet?? Berkacalah di muka air danau ini, … Perhatikan tubuhmu ditumbuhi bulu-bulu kasar! Tatap kepalamu, … seperti ampas mangga hutan! Dan dengar ya monyet, … Telapak tanganmu hitam kotor!”

Sebelum lengkap si itik mencaci, kera itu sudah menyela, “Mulut lancang! Pasti ada yang mengajarimu!” “Tentu saja monyet angkuh! Tak jauh dari sini ada induk pipit membuat sarang, … dialah yang memberitahu aku keburukanmu itu.” “Kurang ajar! Aku akan datang ke sarangnya!” Kali ini itik bisa pulang dengan rasa senang. Tidak lupa dia kabari burung tentang niat busuk kera sombong. “Ow!!! Alangkah bodohnya engkau!” kata induk pipit. “Mestinya tak kau tunjukkan yang ngajari kamu! Jadi kamu tak hanya jelek, engkau pun tolol,” kata pipit kecewa.



Sebelum induk pipit mengungsi, kera sudah datang dan menerkam. Dengan sigap pipit pun terbang, walau anak-anaknya tidak terselamatkan. Dengan jengkel si kera memasukkan anak pipit ke mulut. Sarang pipit diacak-acak, dia diami pohon itu sambil menunggu pipit kembali. Dia merencanakan, bila pipit mencari anaknya akan ia terkam induk itu.

Sementara itu anak pipit ketakutan di dalam kegelapan mulut kera. Sebaliknya, si kera takut bila anak pipit itu terbang. Anak pipit pun mengeluh, dan selalu dijawab kera dengan menggumam.
“Apakah Ibuku sudah datang?” “Mmm-mmm …!”“Apakah Ibuku sudah mandi?” “Mmrn-mmm …!”“Apakah bapak ibuku sudah tidur?” “Ha-ha-ha-ha-ha …!”Kera tak dapat menahan geli, mulutnya terbuka lebar, dan … brrrrr anak pipit langsung terbang.“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.
Kera merasa tertipu, apalagi anak pipit itu meninggalkan kotoran sesuatu di lidahnya. Kera benar-benar merasa kalah, sudah ditinggalkan anak-beranak, masih ditinggali kotoran pula.

si Kera marah sampai kehilangan akal sehat. Dia cari sembilu tajam, dipotongnya lidah yang dikotori tahi anak pipit hingga darah mengalir tanpa henti. Dia menggelepar kesakitan, jatuh, dan … mati.

Kisah kera licik dan sombong

Kisah kera licik dan sombong. si monyet atau Kera sangat senang hidup bersama ketam, karena ketam sangat menurut kepadanya. Ketam mudah sekali ditipunya. Selain itu ketam tidak berani rnelawannya.


Pada suatu hari mereka berdua bersama-sama mencari makan. monyet atau si Kera mendapatkan biji buah jambu. Sedangkan ketam mendapatkan sepotong kue, sisa makanan seorang pemburu.“Sahahatku ketam, kue itu hanya sekali saja kau dapat. Setelah kau makan, maka habislah kuemu,” kata kera sambil melirikkan matanya kearah kue yang dipegang ketam.

“Tapi biji jambu ini bisa ditanam dan akan berbuah hanyak. Habis kita petik tidak lama kemudian akan berbuah lagi. Begitulah seterusnya. Bagaimana kalau kita bertukaran saja, sahabat ?”Karena bujukan itu, ketam merasa tergiur yang akhirnya kuenya ditukarkannya dengan biji jambu milik kera.

“Lalu biji ini ditanam di rumahku ?”“Ya, ya, “jawab kera sambil mengunyah kue itu.Betullah, tidak lama kemudian biji jambu itu tumbuh dengan suburnya. Ketam rajin sekali menyirami pohon jambunya. Dan pada saatnya pohon jambu itu berbuah dengan lebatnya.Melihat buah yang lebat itu kera menjadi iri. Karena itulah maka ketam dibunuhnya. Dia dibanting pada sebuah batu yang sangat keras sehingga tubuhnya berkeping-keping menjadi ratusan ketam kecil-kecil.

Bukan main senang hati kera. Dia bisa memetik buah jambu itu sepuas dan sebanyak mungkin.“Abang kera, berilah kami buah jambu itu,” kata seekor ketam.“Secuilpun kalian tak akan kuberi,” kata kera sambil memakan buah jambu itu dengan rakusnya.Ketam-ketam itu sakit hatinya. Kemudian merekabermusyawarah bersama. Diputuskannyalah untuk menghukum kera.

Berbarislah mereka menuju ke rumah kera. Lebah melihat barisan mereka, dan menanyakan akan kemanakah mereka itu. Mereka menjawab, “Kami akan menghukum kera,” jawab mereka. Kemudian mereka memberi sepotong kue kepada lebah. Lebahpun ikut mereka.Tidak lama kemudian siput juga melihat barisan ketam itu dan menanyakan akan kemanakah mereka itu. Mereka menjawab, “Kami akan menghukum kera,” jawab mereka. Kemudian sepotong roti diberikan kepada siput. Dan siputpun ikut dalam barisan itu.

Ketika akan sampai di rumah kera, mereka bertemu dengan ular. Ular menanyakan kepada mereka mau kemanakah mereka. Ketam-ketam itu menjawab, “Kami akan menghukum kera.” Ularpun menerima sepotong kue dari mereka. Ularpun berbaur dengan mereka itu.Ketika sampai di rumah kera, mereka tidak menjumpainya. Maka bersembunyilah lebah dibalik dipan kera. Siput mengambil tempat persembunyiannya di balik tungku yang berapi. Sedang ular bersembunyi dibawah ember. Semua ketam bersembunyi ditempat yang terlindung dari pandangan kera, kalau kera nanti pulang.

Kera masuk rumahnya. Karena kedinginan. Kera menuju tungku perapian. Nah, disana siput mendorong tungku berapi itu. Sehingga kera terbakar. Larilah kera menuju ember berisi air. Tapi di sana ular telah menunggunya. Kaki kera terpelilit oleh tubuh ular. Disusul dengan kedatangan lebah yang menyengat mata kera. Kera berteriak keras kesakitan. Kemudian Ketam-ketam keluar dari persembunyiannya untuk memberi pelajaran kepada kera yang telah berbuat kejam kepada induk mereka.

Kisah Kera dan buaya nakal

Kisah Kera dan buaya nakal. Jaman dahulu, ada seekor kera tinggal pada sebatang phon jambu di tepi sebuah sungai. Selama musim panas pohon itu akan penuh dengan buah jambu yang masak adn manis. Kera memanfaatkannnya untuk berpesta-pora dengan senangnya.

kera dan buaya


Suatu hari seekor buaya berkeliaran dekat pohon jambu itu. Ia melihat sang kera sedang duduk pada cabang pohon itu."Hai kera," kata si buaya sambil tersenyum lebar."maukah kau menjatuhkan sedikit buah jambu? Aku agak sedikit lapar."



Kera itu sangat baik hati. Lalu ia memetik beberapa tangkai buah jambu yang masak dan mains serta melemparkannya pada sang buaya."Sedap!" kata si buaya dengan cepat melahap semua buah jambu itu. "Dapatkah kamu melemparkan sedikit lebih banyak lagi? Aku ingin membawakannya untuk istriku di rumah."

"Oh, tentu, kawanku!" kata si kera sambil melemparkan beberapa tangkai buah jambu lagi pada sang buaya. "Aku harap istrimu senang juga menikmatinya."

Musim panas dengan depat berlalu. Setiap hari sang buaya menemui sang kera.Mereka berdua menjadi sahabat yang sangat akrab. Mereka pasti menyantap buah jambu bersama-sama. BIla saatnya pulang sang buaya pasti membawa bebrapa ikat jambu untuk istrinya.

Buaya betina menjadi senang. Suatu hari buaya betina berkata,"Sayangku, kalau kera itu tiap hari makan buah jambu betapa lezat dagingnya?"

Buaya jantan agak terkejut."Teganya kau berpikiran seperti itu. Kera itu adalah kawanku yang terbaik."

"Aku tidak perduli," kata buaya betina,"aku menginginkan daging kera untuk makan malamku. Carilah akal dan bawalah ia ke sini."

"Itu tidak mungkin," kata buaya jantan dengan tegas," aku tak tega membunuh sabahat terbaikku."

Hari-hari berlalu dan buaya betina itu menjadi bertambah penasaran untuk menyantap daging kera. Sementara buaya jantan tetap tak mau mengkhianati perasahabatannya dengan kera.

Akhirnya buaya betina merencanakan suatu siasat. Suatu hari, buaya betina berbaring dengan kata tertutup sambil merintih dengan keras.

"Apa yang terjadi dengan dirimu?" teriak buaya jantan merasa sangat cemat.

"Aku merasa sangat sakit," rintih buaya betina,"aku rasa aku akan segera mati."

"Ah jangan!" teriak buaya!" jantan;"aku tak akan membiarkanmu mati. Beritahu aku, apa yang dapat aku lakukan untuk menyelamatkan nyawamu?""Hanya ada satu jalan bagimu untuk menyelamatkan nyawaku,"jawab buaya betina." "Katakan apa itu?" tanya buaya jantan.

"Bila kamu dapat membawakan hati kera, aku akan baik kembali."

"Tetapi bagaimana mungkin aku dapat berbuat demikian? Kera itu satu-satunya sahabat yang aku punyai. Bagaimana dapat akumenyakitinya?" tanya buaya jantan.

"Kalau begitu biarkan saja aku mati," kata buaya betika sambil menangis.

"Oh sayangku, aku jangan kau tinggal mati," kata buaya yang malang itu."Sekarang juga aku akan pergi dan menjemput kera itu."

Seketiak itu juga nampak wajah buaya betina berseri-seri. Sementara buaya jantan segera pergi menuju pohon jambu itu.

"Ahaaa...bakal kesampaian keinginanku makan hati kera," pikir buaya betina.

"Wah buaya jantan, anda diasana rupanya," kata si kera dengan gembira. "Senang melihat anda kembali. Bolehkah kulemparkan beberapa tangkai buah jambu padamu?"

"Tidak, tidak wahai kera," kata buaya jantan sambil tersenyum lebar menunjukkan barisan gigi-giginya yang tajam,"Hari ini kami tak membutuhkan buah jambu."

"Mengapa demikian wahai buaya jantan? Apakah kalian hari ini tidak lapar?"

"Wahai kera, hari ini istriku mengundangmu untuk makan siang bersama. Ia sangat berterimakasih padamu. Lalu hari ini istriku memasak makan siang istimewa untukmu."

"Oh, betapa baik hatinya," kata si kera."AKu akan sangat senang menemanimu berdua makan siang.'

"Ayolah, melompatlah ke atas punggungku. Aku akan cepat-cepat membawamu ke rumahku," kata si buaya.

"Horeee!" teriak sang kera sambil berpegangan kuat-kuat pada punggung buaya.

Namun setelah buaya mencapai tengah sungai, tiba-tiba ia mulai berguling-guling di air. " Hentikan itu wahai sang buaya jantan."teriak sang kera ketakutan,"aku akan jatuh bila kamu tidak menghentikannya."

"Iut memang mauku," kata sang buaya,"aku sedang berusaha menggulingkanmu."

"mengeapa? Aku kan temanmu. Mengapa kamu berusaha membunuhku?" tanya si kera dengan amat terkejut.

"Istriku sakit dan ia akan sembuh hanya bila ia menyantap hatimu,' jawab buaya.

"Mengapa tak bercerita kepadaku sebelumnya?" kata kera sambil tersenyum. "Bila kamu tadi bercerita padaku sebelum meninggalkan pohon jambu, tentunya akau akan membawa serta hatiku."

"Maksudmu hatimu tidak ada bersamamu sekarang ini?" kata buaya jantan.

"Tentu saja tidak," kata si kera sambil menggeleng-gelangkan kepalanya. "Aku tidak pernah membawa hatiku kemanapun aku pergi. Aku akan selalu menyembunyikannya di lubang pohon jambu sebelum meninggalkan tempat tinggalku itu.

"Itu berarti kit aharus kembali mengambil hatimu," tanya buaya yang bodoh itu mempercayai setiap kata yang diucapkan si kera. "Ya!" jawab si kera, " ayo kita kembali dulu sebelum istrimu bertambah prah." Sang buaya dan si kera kembali ke pohon jambu secepat mungkin. Segera setelah sampai, si kera cepat-cepat melompat dari punggung buaya dan memanjat pohon.

"Kamu mengambil apa kok lam sekali?" tanya si buaya,"Sudah ketemukah hatimu?"

"Hatiku selamat bersamamu, engkau buaya yang bodoh," si kera tertawa,"Pulanglah dan beritahu istrimu yang kejam itu untuk membuang keinginannya menyantap hati seekor kera."

"Hah!" buaya penasaran."Jadi kau menipuku?"

"Istrimu juga menipumu, dia hanya pura-pura sakit belaka! kau terlalu menuruti keinginan istrimu tanpa mempertimbangkan persahabatan kita."

"Oh kera aku menysal kini...""Sudahlah, kau pulang saja, dunia kita memang berbeda.""Ma'afkan aku kera sahabatku, aku telah mengecewakanmu.""Pulanglah buaya..."