Home » » si arif ( cerita dan cerpen )

si arif ( cerita dan cerpen )

Pagi yang sangat cerah, terlihat saudagar kaya sedang duduk kalem di beranda rumahnya. Sang Saudagar kaya mempunyai satu orang pembantu yang selalu setia melayaninya, namun sayangnya, pembantu itu agak sedikit terbelakang dan ceroboh. Hal apapun yang di perintahkan saudaugar kepadanya, tak pernah di laksanakannya dengan baik, sang saudagar hampir teramat kecewa karenanya. Tapi anehnya, saudagar menjuluki pembantu setianya itu dengan julukan “si pintar”.

“Wahai, tuan saudagar, kenapa engkau menjulukiku “si pintar”, tuan tentu tahu sendiri bukan" bahwa gue selalu melaksanakan hal-hal yang ceroboh dalam mengerjakan peran yang tuan berikan?” tanya pembantu dengan sangat heran.
Saudagar tersenyum,dan lalu beliau menjawab, “Kau tahu “pintar”, julukan yang gue berikan kepadamu itu yakni sebagai do’a yang kupanjatkan kepada Yang Mahakuasa untukmu.”
“Maksud tuan? Sungguh, gue tak mengerti.”
“Aku selalu berdo’a semoga kau tidak menjadi seseorang yang terbelakang dan ceroboh lagi, dan menjadi pembantuku yang setia lagi pintar, maka dari itu, gue menjulukimu “si pintar” alasannya itu termasuk sebagian dari do’aku.”
“Maaf tuan, tapi, gue masih tak mengerti.”
“Ah, sudahlah. Asal kau tahu gue masih mempercayaimu, dan gue akan memperlihatkan suatu peran untukmu.” kata sang saudagar.
“Baiklah, tuan, lantas tuan hendak memperlihatkan peran apa untukku? Aku akan berusaha mengerjakannya dengan baik.”
Saudagar pun memperlihatkan peran kepada “si pintar”. Dengan perasaan bangga alasannya sudah dipercaya saudagar dalam mengerjakan peran yang penting menurutnya. “si pintar” pergi ke desa sebelah. Untuk apa? Ternyata saudagar menyuruhnya menagih hutang kepada warga desa sebelah. Memang, sang saudagar selalu meminjamkan uang ke desa sebelah, tapi, anehnya beliau tak pernah meminjamkan uang sepeserpun kepada warga desa daerah tinggalnya sendiri.

Akhirnya, setelah perjalanan yang cukup jauh “si pintar” telah hingga di daerah tujuan: desa sebelah. Ia pun mendatangi beberapa warga dan menagih hutang atas perintah sang saudagar. Kurang dari satu jam, “si pintar” telah berhasil mengumpulkan uang yang telah di pinjamkan sang saudagar kepada para warga. Alangkah senangnya hati “si pintar” alasannya beliau telah mengerjakan tugasnya dengan baik.

Dalam arah perjalanan pulang kembali ke rumah saudagar, “si pintar” teringat akan suatu hal. Selain menyuruhnya untuk menagih hutang para warga, saudagar memperlihatkan peran lain kepada “si pintar”. Sang saudagar menyuruh untuk membeli sesuatu yang belum pernah saudagar dapatkan di rumah mewahnya.
Apa ya? Makanan sudah ada, barang-barang mewah sudah ada. Lantas, apa yang harus gue beli? pikir “si pintar”. Setelah berpikir agak lama, beliau memutuskan untuk kembali lagi ke desa sebelah dan mengembalikan uang yang sudah beliau tagih. Apa yang ada di pikirannya? Ah, entahlah, hanya “si pintar” yang tahu.

Dengan tenang, beliau pun kembali ke rumah sang saudagar. Ketika saudagar tahu apa yang di lakukan “si pintar” saudagar sangat marah.
“Apa maksud kau melaksanakan semua itu?” tanya saudagar
“Kelak, tuan akan mengetahuinya.” jawab “si pintar”
Tentu saja, saudagar semakin marah mendengar balasan si pintar. Saudagar mengulangi lagi pertanyaannya, tapi, tetap saja “si pintar” menjawab “kelak tuan, akan mengetahuinya”.

Haripun berganti bulan…
Desa daerah saudagar tinggal, mengalami bencana. Sampai membuat sang saudagar bangkrut, bukan main sedihnya hati sang saudagar. Akhirnya beliau beserta “si pintar” memutuskan untuk pindah ke desa sebelah, dan memulai kehidupan gres di sana. Sang saudagar sangat kaget, alasannya para warga desa sebelah menyambutnya dengan sangat ramah.
“ “Pintar”, apa yang telah kau lakukan sehingga para warga menyambutku dengan ramah, dan mengapa mereka begitu baik kepadaku?” tanya saudagar.
Ia dan “si pintar” sedang duduk di ruang tamu, di rumah gres saudagar. Para warga saling bergotong royong membuat rumah untuk sang saudagar.
“Aku melaksanakan apa?” kata “si pintar” balik bertanya.
“Ya, mungkin saja, kau pernah melaksanakan sesuatu sehingga mereka berbuat baik kepadaku.”
“Oh, ya, gue pernah membeli rasa “cinta” mereka untuk tuan.”
“Maksudmu?”
“Hhmmm, apakah tuan masih ingat, tuan pernah memerintahkanku untuk membeli sesuatu yang belum pernah tuan dapatkan di rumah mewah tuan yang dulu?”
“ Oh ya, ya, gue ingat. Bukankah kau mengembalikan uang yang sudah kau tagih, dan membuatku sangat marah?”
“Iya, tuan. Nah, ketika itu gue sangat kbingungan harus membelikan apa untuk tuan, kesudahannya gue mendapat sebuah wangsit yang suatu dikala pasti akan sangat memiliki kegunaan untuk tuan, dan tentunya juga belum pernah tuan medapatkannya, yaitu gue membeli rasa “Cinta” para warga kampung untuk tuan, dengan cara mengembalikan uang pertolongan yang sudah ku tagih.”
“Ide yang sangat bagus. Maaf, gue telah marah kepadamu, tapi, dari mana kau menerima wangsit menyerupai itu?” tanya saudagar seraya berdecak kagum.
“Aku berpikir, tuan sudah banyak memiliki harta, tapi, tuan tak banyak memiliki banyak saudara. Padahal harta itu tak selamanya mampu membantu kita, bila saudara, tentunya mereka akan ada untuk kita ketika kita susah. Dan perlu diketahui, harta itu bukan segalanya. Tapi, rasa “cinta” terhadap sesama yang harus selalu melekat di hati kita.” terang “si pintar”

0 komentar:

Post a Comment

Berkomentar yang baik ya sahabatku semua :)